Wednesday, September 16, 2009

Kisah Sang Pencari Lailatul Qadar

Hidup sebatang kara selama sepuluh tahun terakhir, tak lantas membuat Kasim (57), tunawisma di salah satu sudut Kota Gorontalo, merasa kesepian dan putus asa menjalani hidup.

Bermodal sepeda tua, sebuntal pakaian serta pasir penggosok, ia berpindah-pindah tempat seantero kota, demi sekedar mencari tempat singgah untuk istirahat, menghilangkan kepenatannya seusai bekerja.

Dari rumah ke rumah, Kasim menawarkan jasanya untuk membersihkan wajan atau alat dapur lainnya dengan upah seribu hingga lima ribu rupiah.

Tak jarang ibu rumah tangga, hatinya tersentuh dan memberi upah yang lebih besar. Kasim memang tak pernah menetapkan upah yang harus dibayar, setelah wajan-wajan mereka bersih dari kerak arang berkat "khasiat" pasir gosoknya.

Sisa-sisa arang yang `menyelinap` di kuku jarinya, cukup untuk menjadi bukti bahwa pria paruh baya tersebut ikhlas menjalani pekerjaan yang unik itu.

Kasim memang pantang menjadi seorang peminta-minta dari rumah ke rumah.

"Allah tidak pernah buta, Dia selalu memberi pertolongan sehingga saya bisa bertahan hidup seperti saat ini," ujarnya, ketika ditemui di pinggiran kota Gorontalo.

Kepergian istri dan anak kehadirat Allah SWT sepuluh tahun silam, membuatnya tersadar bahwa ia harus segera membenahi hidupnya. Sebelumnya Kasim dihabiskan hari-harinya dengan mencuri dan berjudi.

"Mungkin anak dan istri saya sengaja diambil Tuhan, sebagai peringatan untuk segera bertobat dan meninggalkan dua perbuatan haram itu," katanya.

Saat itulah titik balik kehidupan Kasim berubah. Ia kembali ke jalan-Nya dan berniat membersihkan dosa-dosa hingga hidup selesai dijalaninya.

Perasaan menyesal dan bersalah, membuatnya semakin "melek" agama. Ia mengawali dengan belajar mengaji pada seorang ustad, dan kemudian berkelana dari masjid ke masjid.

Bulan Ramadhan seperti saat ini, merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu. Ia selalu menyambutnya dengan suka cita.

"Aku ingin mendapatkan malam seribu bulan. Aku ingin mengejar pengampunan di bulan Ramadhan," ujarnya.

Ia selalu teringat kata-kata guru mengajinya, yang mengutip hadist yang dirawikan Bukhori dan Muslim, "Barang siapa mengerjakan ibadah di malam Lailatul Qadar karena imannya kepada Allah dan karena mengharapkan keridhaan-Nya, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu."


Sepuluh Malam Terakhir

Kitab suci memang menyebutkan Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik baik dari seribu bulan. Umat Muslim percaya pada malam itu pintu-pintu langit dibuka, doa-doa bakal dikabulkan dan segala takdir yang terjadi pada tahun itu ditentukan.

Karena itu, Kasim terus mencari-cari malam Lailatul Qadar, terutama di malam-malam ganjil, pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam tiga tahun belakangan ini, Kasim mengaku tak pernah melewatkan 10 malam terakhir itu, demi memohon dihapuskan dosa dan dikabulkannya doa.

Akhir Ramadhan tahun ini pun ia telah bersiap-siap menghabiskan waktunya di 10 malam terakhir dengan beritikaf, atau berdiam diri di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari maksiat.

Pekerjaan membersihkan wajan, yang terkadang harus dilakoninya hingga malam hari, sengaja diabaikan pada 10 malam terakhir yang telah dinantikannya.

"Saya berusaha agar sepuluh malam terakhir Ramadhan tak terlewatkan, sebab tidak seorangpun tahu kapan datangnya Lailatul Qadar diantara malam-malam tersebut," ujarnya dengan pandangan menerawang.

Ia mengaku telah mempelajari cara mencari Lailatul Qadar dari berbagai buku yang ia baca saat singgah di beberapa masjid serta penjelasan sejumlah ustadz yang pernah ia temui di sepanjang perjalanannya.

Ia pun tak pernah bisa memastikan, apakah ia telah mendapatkan Lailatul Qadar itu, namun yang pasti ia merasa hidupnya jauh lebih tenang, karena telah bertaubat.

Kasim mengejar Lailatul Qadar dengan melakukan shalat tarawih, tahajud, beristighfar, berdzikir, membaca Al Quran, serta bersedekah.

Kendatipun penghasilannya dari membersihkan kerak wajan hanya beroleh rupiah yang tak seberapa, namun ia masih menyisihkan sebagian rezekinya untuk kaum fakir, seperti dirinya.

"Terima kasih pak, semoga mendapat rezeki yang lebih besar lagi," ucap seorang pengemis sambil berlalu setelah mendapatkan uang logam 500 rupiah dari Kasim.

Rezeki, kata Kasim, tak hanya sekedar berbentuk rupiah, karena itu tak pernah mendatangkan kepuasan bagi manusia. Baginya, rezeki terbesar dalam hidupnya adalah perasaan bersyukur kepada-Nya, sehingga berapapun upah yang diperoleh, Kasim tak pernah protes, marah, menyesal ataupun merasa rugi.

Makna berbagi dengan sesama pun bagi Kasim tak hanya sebatas saling memberi, namun juga saling mendoakan untuk kebaikan hidup di dunia dan akhirat. (*)



Debby Hariyanti Mano

Friday, September 4, 2009

[inpiration] BUKU TABUNGAN

Priya menikah dengan Hitesh. Pada pesta pernikahan, ibu Priya
memberinya sebuah buku tabungan. Di dalamnya berisi tabungan sejumlah
Rs.1000 (Rp 246.000). Dia berkata, "Priya, terimalah buku tabungan ini.

Gunakan sebagai buku catatan dari kehidupan pernikahanmu. Jika ada satu
peristiwa bahagia atau yang bisa dikenang, masukkan sejumlah uang
tabungan di dalamnya. Tulis kejadian yang kamu alami di baris catatan
yang ada di sampingnya. Semakin besar kenangan terhadap peristiwa itu,
masukkan uang tabungan yang lebih besar. Ibu sudah melakukan diawal
pernikahanmu ini.. Lakukan selanjutnya bersama Hitesh. Saat kamu
melihat kembali tahun-tahun yang telah berlalu, kamu akan mengetahui
betapa bahagianya kehidupan pernikahan yang kamu miliki."

Priya memberitahukan hal ini kepada Hitesh setelah pesta usai. Mereka
berdua setuju bahwa ini adalah ide yang sangat bagus dan mereka tidak
sabar menanti saatnya untuk memasukkan tambahan uang tabungan ke dalam
buku itu.

Ini yang mereka lakukan setelah beberapa waktu :

- 7 Februari : Rs 100 (Rp 24.600), perayaan ultah pertama untuk Hitesh setelah menikah.

- 1 Maret : Rs 300 (Rp 73.800), gaji Priya naik

- 20 Maret : Rs 200 (Rp 49.200), berlibur ke Bali

- 15 April : Rs 2.000 (Rp 492.000), Priya hamil

- 1 Juni ; Rs 1,000 (Rp 246.000), Hitesh dipromosikan ...

dan seterusnya ...

Akan tetapi setelah beberapa tahun berlalu, mereka mulai beradu
pendapat dan bertengkar untuk hal-hal yang sepele. Mereka saling diam.
Mereka menyesal telah menikahi orang yang paling buruk di dunia ...
tidak ada lagi cinta ... sesuatu yang sangat tipikal di masa ini.

Suatu hari Priya berkata pada ibunya, "Ibu, kami tidak bisa bertahan
lagi. Kami setuju untuk bercerai. Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana saya telah memutuskan menikah dengan orang ini !"

Ibunya menjawab, "Baiklah, apa pun yang kamu ingin kerjakan kalau sudah
tidak bisa bertahan. Tetapi sebelum kamu melangkah lebih jauh, tolong
lakukan hal ini. Ingat buku tabungan yang ibu berikan saat pesta
pernikahan kalian? Ambil semua uangnya dan belanjakan sampai habis.
Kamu tidak bisa terus menyimpan catatan di buku tabungan itu untuk
sebuah pernikahan yang buruk."

Priya berpikir bahwa itu benar. Jadi dia pergi ke bank, menunggu
diantrian dan berencana menutup buku tabungan itu. Ketika menunggu, dia
melihat catatan yang ada di buku tabungan di tangannya. Dia
melihat,melihat, dan melihat. Kemudian ingatan akan semua kebahagiaan
dan sukacita dimasa-masa yang telah lewat muncul kembali di pikirannya.
Air mata menggenang dan berurai di pipinya. Kemudian dia bergegas
meninggalkan bank dan pulang.

Ketika sampai di rumah, Priya memberikan buku tabungan itu pada Hitesh,
dan memintanya untuk memasukkan sejumlah uang ke tabungan itu sebelum
mereka bercerai.

Hari esoknya, Hitesh mengembalikan buku tabungan itu pada Priya. Dia
menemukan tambahan tabungan sebesar Rs 5000 (Rp 1.230.000) dengan
catatan di dalam buku tabungan: 'Ini adalah hari dimana saya menyadari
betapa saya mencintaimu sepanjang tahun-tahun yang telah kita lewati.
Betapa besar kebahagiaan telah kamu bawa untukku." Mereka berdua
berpelukan dan menangis, dan meletakkan buku tabungan itu kembali di
tempat semula.

Anda tahu berapa yang yang terkumpul saat mereka pensiun? Saya tidak
bertanya pada mereka. Saya percaya uang bukan masalah lagi setelah
mereka berhasil melalui tahun-tahun yang indah di sepanjang kehidupan
pernikahan mereka.

"Saat engkau jatuh, jangan melihat tempat di mana kamu jatuh, tetapi lihatlah tempat di mana kamu mulanya tergelincir. "

= Hidup adalah memperbaiki kesalahan-kesalahan =



Namaste Suati Hotu

Oscar Hammer Stein

Namaste Suati Hotu

Oscar Hammer Stein

.